Kajian
film dalam studi sastra dan bahasa mempunyai hubungan satu sama lain. Dilihat
dari definisinya, film merupakan media
komunikasi yang bersifat audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada
sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu. (Effendy, 1986: 134). Sastra sendiri berasal dari
bahasa sansekerta, sas berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi,
sedangkan tra berarti alat atau sarana. Jadi, sastra adalah sarana untuk
memberikan petunjuk, sedangkan bahasa yaitu sistem lambang bunyi yang bersifat
arbitrer yang digunakan oleh sekelompok manusia untuk bekerja sama,
berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri. Dari definisi-definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa kajian film dengan sastra dan bahasa mempunyai hubungan
yaitu sama-sama menyampaikan suatu pesan atau memberikan petunjuk kepada
sekelompok manusia untuk dapat bekerja sama dan berkomunikasi satu sama lain.
Film
sebagai seni yang sangat kuat pengaruhnya dapat memperkaya pengalaman hidup
seseorang dan bisa menutupi segi-segi kehidupan yang lebih dalam. Selain
sebagai wahana untuk menghibur, film juga bermanfaat sebagai media
pembelajaran. Film dapat dianggap sebagai pendidikan yang baik dan media visual
yang memiliki nilai hiburan, artistik, dan komunikasi. Oemar Hamalik memberikan
definisi, media pendidikan adalah alat, metode, dan teknik yang digunakan dalam
rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan siswa
dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. (Oemar Hamalik, Metode
Pendidikan, Bandung : PT. Citra Aditya, 1994 Hal.12). Menurut Briggs bahwa
media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang
siswa untuk belajar seperti buku, film, kaset, film bingkai, dan lain sebagainya.
(Arief S. Sadiman, et, Al., Media Pendidikan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1996, cetak ke 04 hal 6). Disinilah terlihat jelas bahwa buku dan film merupakan
alat yang mempunyai kesamaan yaitu sebagai media pembelajaran yang baik bagi
orang yang sedang belajar. Buku disini dapat berupa buku pelajaran ataupun buku
karya sastra yang keduanya bermediumkan bahasa.
Film
dibangun atas sistem tanda yang kompleks, seperti gambar, suara, kata-kata,
musik, gedung pertunjukkan, lokasi, penonton, cara membuatnya, dan lain
sebagainya. Di dalam sastra dan bahasa juga terdapat tanda. Tanda tersebut
sering disebut dengan istilah semiotika. Semiotika menurut Ferdinand de Saussure
didefinisikan sebagai sebuah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di tengah
masyarakat. (Sobur, 2004 : 12), sedangkan Charles Sanders Pierce membatasi
semiotika sebagai “doktrin formal tentang tanda-tanda”. Dengan demikian
dasarnya adalah konsep tentang tanda-tanda.
Pierce
menggolongkan semiotika menjadi tiga tingkatan, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon merupakan hubungan tanda dan obyek karena serupa, proses ikon ini bisa
dilihat misalnya foto. Indeks merupakan hubungan tanda dan obyek karena sebab
akibat, proses indeks ini dapat diperkirakan seperti mendung berarti akan
hujan, sedangkan simbol adalah hubungan antara tanda dan obyek karena adanya
konvensi atau kesepakatan bersama, proses simbol disini harus dipelajari, contohnya
burung merpati yang melambangkan kesetiaan atau tanda bulan sabit merah
melambangkan palang merah.
Simbol
dalam sastra yang terpenting adalah bahasa. Bahasa yang merupakan simbol dalam
sastra tersebut dapat dianalisis melalui suku kata, kalimat, paragraf, dan wacana.
Tidak jauh berebeda dengan film, simbol yang terdapat dalam film dapat berupa
gambar gerak, bergerak, dialog, suara, lokasi, dan lain sebagainya dianalisis
melalui bahasa baik kata, kalimat, paragraf, bahkan wacana. Hanya saja, yang
membedakan antara sastra dan film ini terdapat pada penafsiran atau imajinasi
pembaca atau penontonnya. Bahasa yang merupakan medium karya sastra memiliki
sifat keterbukaan pada imajinasi pengarang, sehingga bahasa tersebut
memungkinkan memberi ruang yang lebih luas bagi para pembaca untuk menafsirkan
dan mengimajinasikan apa yang mereka baca. Berbeda dengan film, penafsiran atau
imajinasi penontonnya dibatasi dengan adanya durasi waktu dalam menonton film.
Terbatasnya waktu dapat memberikan pengaruh tersendiri dalam proses penerimaan
dan pembayangan orang yang menontonnya.
Dewasa
ini, banyak sekali karya sastra sebagai “dunia kata” yang diinterpretasikan
dalam khayalan pembaca ditransformasikan menjadi media audio visual.
Transformasi dari karya sastra ke bentuk film dikenal dengan istilah
ekranisasi. Istilah ekranisasi ini berasal dari Bahasa Perancis, écran yang
berarti layar. Ekranisasi (1991 : 60) adalah pelayarputihan atau pemindahan
sebuah novel ke dalam film. Ekranisasi ini dimunculkan untuk memberikan
berbagai perkembangan informasi dan pengetahuan edukatif yang terdapat dalam
karya sastra terhadap masyarakat yang bukan pembaca karya sastra.
Di dalam ekranisasi, pengubahan wahana dari karya
sastra ke wahana film, berpengaruh pula pada berubahnya hasil yang
bermediumkan bahasa atau kata-kata ke dalam film yang bermediumkan gambar
audiovisual. Jika di dalam novel ilustrasi dan penggambaran atau pelukisan
dilakukan dengan menggunakan media bahasa atau kata-kata, dalam film semua
itu diwujudkan melalui gambar-gambar bergerak atau audiovisual yang
menghadirkan suatu rangkaian peristiwa.
Hal demikian menjadikan film, sastra, dan bahasa
mempunyai hubungan yang erat, dilihat dari tanda-tandanya yang tergambar dalam
simbol-simbol film ataupun dalam karya sastra yang bermediumkan bahasa. Bentuk
hubungan sastra dengan film, sebenarnya juga terjadi antara sastra dengan
teater, atau teater dengan film. Hubungan ini sama-sama dapat disimbolkan
melalui bahasa, meski demikian ada transformasi karya sastra terhadap bentuk
film yang mengakibatkan perubahan. Walaupun demikian, perubahan tersebut dapat
memberikan informasi baru dan pengetahuan edukatif yang terdapat dalam karya
sastra terhadap masyarakat yang bukan pembaca karya sastra. Adapun perbedaan
antara karya sastra dengan film diakibatkan pada penafsiran atau imajinasi
pembaca atau penonton yang berbeda-beda sesuai imajinasi atau penafsiran mereka
masing-masing.
Daftar Pustaka