PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang
paling menarik tetapi pelik. Sebagai salah satu jenis sastra, puisi merupakan
pernyataan sastra yang paling utama. Segala unsur seni sastra mengental dalam
puisi. Menurut Sumardi puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan,
dipersingkat, dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata
kias (imajinatif). Sebuah puisi merupakan ungkapan perasaan atau pikiran
penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Sampai sekarang,
puisi selalu mengikat hati dan digemari oleh semua lapisan masyarakat karena
keindahan dan keunikannya. Oleh karena kemajuan masyarakat dari masa ke masa
selalu meningkat, maka corak, sifat, dan bentuk puisi pun selalu berubah,
mengikuti perkembangan selera, konsep estetika yang selalu berubah dan kemajuan
intelektual yang selalu meningkat.
Puisi dibedakan dengan prosa, bisa dikatakan bahwa
yang membedakannya yaitu dalam pengucapannya, jika prosa itu pengucapannya
dengan pikiran tetapi puisi itu pengucapannya dengan perasaan. Prosa adalah
jenis sastra yang dibedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama,
rima, ataupun kemerduan bunyi, sedangkan puisi adalah jenis sastra yang
bentuknya dipilih dan ditata dengan cermat, sehingga mampu mempertajam
kesadaran orang akan suatu pengalan dan membangkitkan tanggapan khusus lewat
bunyi, irama, dan makna khusus lainnya.
Puisi merupakan karya sastra yang kompleks, maka
untuk memahaminya diperlukan analisis agar dapat diketahui bagian-bagian serta
jalinannya secara nyata. Untuk menganalisis puisi dengan tepat, perlu diketahui
wujud sebenarnya dari puisi tersebut. Menurut Rene Wellek (1968:150), puisi
adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Oleh karena itu, puisi
harus dimengerti sebagai struktur norma-norma. Norma itu harus dipahami sebagai
norma implisit yang harus ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra.
Karya sastra itu tidak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri
dari beberapa strata (lapis) norma. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman
Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische
kunstwerk (1931) ia menganalisis lapis norma sebagai berikut : lapis norma
yang pertama yaitu lapis suara (Sound
Stratum), lapis norma yang kedua yaitu lapis arti (Units of Meaning), lapis norma yang ketiga yaitu lapis pengarang,
lapis norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapis norma kelima yaitu lapis
metafisis.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang yang sudah dipaparkan penulis menarik rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimana
pengertian puisi menurut beberapa ahli?
2. Bagaimana
perbedaan prosa dan puisi?
3. Bagaimana
analisis lapis norma Roman Ingarden dalam Puisi Sajak Embun Karya Ahmadun Yosi Herfanda?
C. Tujuan
1. Menggambarkan
pengertian puisi menurut beberapa ahli.
2. Menggambarkan
perbedaan prosa dan puisi.
3. Menjelaskan
hasil analisis lapis norma Roman Ingarden dalam Puisi Sajak Embun Karya Ahmadun Yosi Herfanda.
PEMBAHASAN
A.
Definis
Puisi Menurut Para Ahli
Secara etimologis, kata puisi dalam
bahasa Yunani berasal dari poesis
yang berarti penciptaan. Dalam bahasa Inggris, padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan kata -poet
dan –poem. Mengenai kata poet
sendiri, Coulter (dalam Tarigan, 1986:4) menjelaskan bahwa kata poet berasal dari Yunani yang berarti
membuat atau mencipta. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang
hampir-hampir menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah
orang yang berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf,
negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Sebuah puisi merupakan ungkapan perasaan
atau pikiran penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Shahnon
Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan
oleh para penyair Romantik Inggris yaitu sebagai berikut:
1. Dunton
berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara
konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya dengan
kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras,
simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh
perasaan serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya
berturut-turut secara teratur).
2. Wordsworth
mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu
perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi
itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
3. Shelley
mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam
hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan
menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak,
percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai.
Semuanya ini merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam atau
dikenang.
Dari definisi-definisi di atas memang
seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon
Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat
garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi,
imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata
kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur. Dapat disimpulkan bahwa
puisi merupakan pemikiran pernyataan perasaan manusia yang secara konkret dan
imajinatif terekam dalam hidup.
Adapun
definisi puisi menurut para ahli adalah sebagai berikut:
1. Sumardi,
puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat, dan
diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif).
2. Herman
J. Waluyo mendefinisikan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang
mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengonsentrasian struktur fisik
dan struktur batinnya.
3. Putu
Arya Tirtawirya menjabarkan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit dan
samar, dengan makna yang tersirat, dimana kata-katanya condong pada makna
konotatif.
4. Herbert
Spencer, puisi merupakan bentuk pengucapan gagasan yang bersifat emosional
dengan mempertimbangkan efek keindahan.
5. Ralph
Waldo Emerson menjabarkan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan
kata-kata sesedikit mungkin.
6. Samuel
Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata terindah dalam susunan
terindah.
Berdasarkan beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa puisi merupakan karya sastra denagan bahasa yang
dipadatkan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif
dan disertai musik bahasa yang mempunyai makna yang tersirat, dimana
kata-katanya condong pada makna konotatif yang mempunyai efek keindahan.
B.
Perbedaan
Prosa dan Puisi
Kata prosa berasal dari bahasa latin. Prosa yang berarti “terus terang”.
Dari definisi harfiah tersebut bisa dijelaskan bahwa prosa adalah suatu jenis
tulisan yang menjelaskan atau mendeskripsikan suatu fakta ataupun ide seseorang
secara gamblang dan jelas. Prosa sendiri merupakan sebuah karya sastra yang
bebas penulisannya dan tidak terikat oleh kaidah-kaidah seperti dalam puisi,
sehingga bisa disebut dengan karangan bebas. Prosa dibedakan dengan puisi
karena variasi ritme (rhythm) yang
dimilikinya lebih besar, serta bahasanya yang lebih sesuai dengan arti
leksikalnya.
Slametmulyana (1956) mengatakan bahwa ada perbedaan pokok antara prosa dan
puisi. Pertama, kesatuan prosa yang pokok adalah kesatuan sintaksis, sedangkan
kesatuan puisi adalah kesatuan akustis. Kedua, prosa kesatuannya disebut
paragraf, sedangkan dalam puisi kesatuan-kesatuannya disebut baris sajak.
Ketiga, di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
Puisi dan prosa sering dianggap sebagai sepasang
“lawan kata” atau mungkin saja puisi dan prosa merupakan “kawan” sekaligus
“lawan”. Hal ini desebabkan karena Prosa merupakan karangan bebas.
Maksudnya, penulis prosa dapat secara bebas menuliskan apa yang ada di dalam
pikirannya, tanpa harus terikat oleh aturan tertentu. Penulis tidak perlu
menggunakan bentuk kata yang dibuat-buat agar terasa indah. Penulis tidak perlu
bersusah payah mencari kata-kata atau huruf-huruf yang bunyinya sama di akhir
kalimat. Tak perlu pula menghitung jumlah huruf, suku kata, dan kata yang
dipergunakan untuk mengutarakan ide atau pesannya secara tertulis. Itulah
kebebasan yang dimaksud dalam menulis prosa. Berbeda sekali dengan puisi yang
bahasanya terikat oleh bunyi, irama, rima, serta penyusunan lirik dan bait
sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan
tanggapan khusus lewat bunyi, irama, dan makna khusus tersebut. Didalam
puisi, pikiran dan perasaan menyatu seolah-olah bersayap terbang
belanglang buana ke arah yang mereka suka membawa luapan emosi dan
akhirnya, membuahkan suatu karya dengan keindahan gaya bahasa
bagaikan bunyi dan lagu dengan tekanan suara (ritme) tertentu.
Menurut Tarigan puisi merupakan pengucapan dengan
perasaan, berbeda dengan prosa yang diucapkan melalui pengucapan dengan
pikiran. Jika dianalogikan dalam kehidupan sehari-hari, puisi itu ibaratkan
orang yang menari, sedangkan prosa itu seperti orang yang berjalan biasa, atau
bisa juga puisi itu diibaratkan orang yang bernyanyi sedangkan prosa itu
diibaratkan orang berbicara biasa. Puisi tidak mengabdi kepada otak yang
berpikir melainkan perasaan yang berbicara dan ini dapat menyentuh siapapun
yang membaca atau mendengarkannya. Jelas sekali perbedaannya disini bahwa puisi
lebih menarik dan indah dibandingkan dengan prosa.
C.
Analisis
Strata Norma Roman Ingarden dalam Puisi Sajak
Embun Karya Ahmadun Yosi Herfanda
SAJAK
EMBUN
Karya Ahmadun Yosi Herfanda
hanya karena cinta embun menetes
dari ujung bulu matamu, membasahi
rumput dan daun-daun, lalu meresap
ke jantungku. cacing-cacing pun berzikir
padamu, mensyukuri kodratnya tiap waktu
siapa yang menolak bersujud padamu
yang tak bersyukur karena karuniamu?
barangkali hanya orang-orang congkak itu
orang-orang yang berjalan dengan kepala
mendongak ke langit sambil melirik
dengan cibiran harimau
hanya karena cinta hujan menetes
dari sudut pelupuk matamu, membasahi rambutku
menyusup ke pori-pori tubuh, syaraf dan nadi
menghijaukan kembali taman hatiku
burung-burungpun bernyanyi karenaku
berzikir dan bersujud padamu
– ya allah, ampuni adaku padamu!
Yogyakarta, 1990/2007.
Puisi Sajak Embun
sebagaimana puisi pada umumnya, yaitu terdiri dari beberapa lapis (strata)
norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya. Rene Wellek
mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya
Das Literarische Kuntswerk
(Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan lima lapisan norma, antara
lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound stratum), lapisan
norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning), lapisan norma ketiga
yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis dunia, dan lapisan
norma kelima yaitu lapis metafisis.
1. Lapis
Suara (Sound Stratum)
Bila
orang membaca puisi (karya sastra), yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang
dibatasi oleh jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Akan tetapi, suara itu
bukan hanya bunyi tanpa arti, tetapi berdasarkan konvensi bahasa tertentu.
Lapis bunyi tersebut bisa berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata,
dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu: suara frase dan suara
kalimat. Dalam puisi, pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada
bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang
dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Mengingat bunyi
dalam sajak bersifat estetik yang berfungsi untuk mendapatkan keindahan dan
tenaga ekspresif. Dengan kata lain, bunyi juga memiliki fungsi sebagai alat
penyair untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, menimbulkan bayangan angan
yang jelas, dan lain sebagainya.
Lapis
suara ini terdiri dari asonansi dan aliterasi. Asonansi merupakan pengulangan
bunyi vokal yang sama pada kata atau perkataan yang berurutan dalam baris-baris
puisi. Pengulangan ini menimbulkan kesan kehalusan, kelembutan, kemerduan, atau
keindahan bunyi, sedangkan aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan yang
sama dalam baris-baris puisi, biasanya pada awal kata atau perkataan yang
berurutan. Pengulangan seperti itu menimbulkan kesan keindahan bunyi.
Dalam
bait pertama puisi di atas terdapat asonansi bunyi a, e, dan u pada kata “hanya”, “karena”, “cinta”,
“menetes”, “meresap”, “ujung”, “bulu”, “matamu”, “rumput”, “daun-daun”,
“jantungku”, “padamu”, “mensyukuri”, dan “waktu”. Terdapat pula aliterasi m pada kata “embun”, “menetes”,
“matamu”, “membasahi”, “rumput”, “meresap”, “padamu”, dan “mensyukuri”. Dalam
bait kedua terdapat asonansi bunyi a,
u, o, dan i pada kata “siapa”,
“menolak”, “barangkali”, “hanya”, “berjalan”, “kepala”, “bersujud”, “padamu”,
“bersyukur”, “karuniamu”, “orang-orang”, “congkak”, “mendongak”, “langit-langit”,
“sambil”, “melirik”, dan “cibiran”. Terdapat pula aliterasi b dan k pada kata “bersujud”, “bersyukur”, “barangkali”, “berjalan”,
“sambil”, “cibiran”, “menolak”, “karuniamu”, “congkak”, “kepala”, “mendongak”,
dan “melirik”. Dalam bait ketiga terdapat asonansi bunyi a, i, dan u pada kata “hanya”, “karena”, “cinta”,
“hujan”, “syaraf”, “menghijaukan”, “taman”, “membasahi”, “pori-pori”, “nadi”, “kembali”,
“bernyanyi”, “berzikir”, “ampuni”, “sudut”, “pelupuk”, “matamu”, “rambutku”,
“menyusup”, “tubuh”, “hatiku”, “burung-burungpun”, “karenaku”, “bersujud”,
“padamu”, “ya allah”, “adaku”, dan “padamu”. Terdapat pula aliterasi n, b,
dan m pada kata “karena”, “cinta”,
“hujan”, “menetes”, “nadi”, “taman”, “tubuh”, “burung-burungpun”, “bernyanyi”,
“berzikir”, “bersujud”, “matamu”, “membasahi”, “menyusup”, “menghijaukan”, dan
“ampuni”.
2. Lapis
Arti (Units of Meaning)
Setiap
diksi dalam puisi telah melalui pemilihan kata yang demikian ketat oleh
penyair. Hal itu sangat mungkin disebabkan oleh pemadatan yang menjadi salah
satu ciri puisi. Pemilihan diksi tersebut akhirnya mengakibatkan impres
tertentu pada pembacanya. Lapis arti (units
of meaning) ialah arti yang terdapat dalam tiap satuan sajak. Mulai dari
fonem, kata, kalimat, dan seterusnya (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:17). Lapis
arti terbagi dalam kosa kata, citraan, dan sarana retorika. Dengan menggunakan
lapis ini, arti dalam tiap diksi bisa semakin dekat dengan keobjektifan, tentu
dengan dihubungkan dengan lapis-lapis lainnya.
Pada
bait pertama diartikan bahwa cinta yang Allah berikan itu seperti embun yang
setiap paginya selalu menetes dan membangunkanku untuk berdzikir kepadaMu dan
selalu mensyukuri apapun yang kita punya atau yang kita miliki setiap saat.
Pada bait kedua diartikan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang tidak bersujud
dan bersyukur kepadaMu kecuali orang yang sombong dengan membanggakan dirinya
dan membesar-besarkan omongannya. Pada bait ketiga diartikan bahwa cinta yang
diberikan Allah seperti hujan yang menyejukanku, membuatku merasa damai, dan
alam beserta burung-burungpun senang ketika melihatku berdzikir kepadaMu. Ya Allah,
aku memohon ampun kepadaMu.
3. Lapis
Ketiga (Pengarang)
Wujud
dari lapis ketiga ini ialah objek-objek yang dikemukakan di dalam sajak, latar,
pelaku, dan dunia pengarang. Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan
dunia yang diciptakan oleh si pengarang. Ini merupakan gabungan dan jalinan
antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya
(alur). (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18).
Lapis
ketiga ini membahas tentang pengaruh pengarang dan lingkungannya terhadap karya
sastra yang dilahirkannya. Ahmadun Yosi Herfanda ini banyak menulis sajak-sajak
sosial-religius. Puisi “Sajak Embun” ini salah satunya, dibuktikan pada
kata-kata yang dituliskan oleh pengarang tentang cinta yang diberikan Allah
kepada umatnya dan kehidupan orang-orang congkak yang tidak bersyukur
kepadaNya. Hal ini mengusik pengarang untuk menuangkannya dalam sebuah karya
sastra. Hasil karya yang dihasilkan dipengaruhi oleh keadaan yang sering
terjadi pada masyarakat dari jaman dulu sampai jaman sekarang. Jadi, pengarang
dan lingkungannya mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan tersebut dapat
dilihat pada lapis arti.
4. Lapis
Keempat (Dunia)
Lapis
pembentuk makna dalam sajak ialah lapis ‘dunia’ yang tak dinyatakan, namun
sudah ‘implisit’ (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:18). Lapis dunia menunjukkan
perbedaan makna dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari.
Dipandang
dari sudut pandang tertentu dimana embun dan hujan adalah bukti cinta Allah
kepada kita seperti dalam bait pertama puisi digambarkan bahwa embun
digambarkan sebagai cintaNya itu meresap sampai ke jantung dan membuat kita
bersyukur atas cinta yang diberikanNya. Pada bait kedua menggambarkan makhluk
yang sombong dengan menolak untuk bersyukur, dan pada bait ketiga digambarkan
lagi cinta Allah dengan menunjukkan hujan yang bisa menyejukkan hati.
5. Lapis
Kelima (Metafisis)
Terakhir
dari lapisan pembentuk makna dalam puisi ialah lapis kelima. Lapisan ini
disebut juga lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi (Rachmat
Djoko Pradopo, 2002:19). Dalam ilmu filsafat, metafisis adalah abstraksi yang
menangkap unsur-unsur hakiki dengan menyampingkan unsur-unsur lain. Sementara
dalam karya sastra, metafisis merupakan lapis terakhir dalam strata norma yang
dapat memberikan kontemplasi di dalam karya sastra yang dikaji.
Puisi Sajak Embun membahas tentang rasa cinta
Allah yang diberikan kepada umatNya lewat embun dan hujan yang bisa
membangunkan, menyejukkan, dan mendamaikan hati para makhlukNya untuk ingat
kepadaNya dengan cara berdzikir dan bersyukur setiap saat kepadaNya, makhluk-makhlukNya
yang tidak bersyukur termasuk makhluk yang sombong. Penggambaran rasa cinta itu
dikemas dalam sebuah karya sastra yang mengandung makna dan penyampaian dengan
ketepatan diksi yang digunakan oleh pengarang. Oleh sebab itu, penulis mengajak
para pembaca untuk selalu bersyukur terhadap apa yang telah Allah berikan
kepada kita, tidak lupa berdzikir dalam keadaan apapun, dan tidak menjadi orang
yang sombong.
PENUTUP
Kesimpulan
Sebuah puisi merupakan ungkapan perasaan
atau pikiran penyairnya dalam satu bentuk ciptaan yang utuh dan menyatu. Puisi
merupakan karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan dalam mengungkapkan
pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disertai musik bahasa yang
mempunyai makna yang tersirat, dimana kata-katanya condong pada makna konotatif
yang mempunyai efek keindahan.
Prosa dan puisi itu berbeda, jika dianalogikan dalam
kehidupan sehari-hari, puisi itu ibaratkan orang yang menari, sedangkan prosa
itu seperti orang yang berjalan biasa, atau bisa juga puisi itu diibaratkan
orang yang bernyanyi sedangkan prosa itu diibaratkan orang berbicara biasa. Puisi
tidak mengabdi kepada otak yang berpikir melainkan perasaan yang berbicara dan
ini dapat menyentuh siapapun yang membaca atau mendengarkannya. Jelas sekali
perbedaannya disini bahwa puisi lebih menarik dan indah dibandingkan dengan
prosa.
Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden,
seorang Filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kuntswerk (Rachmat Djoko Pradopo, 2002:14) menyebutkan
lima lapisan norma, antara lain lapisan norma pertama yaitu lapis suara (Sound
stratum), lapisan norma kedua yaitu lapis arti (units of meaning),
lapisan norma ketiga yaitu lapisan pengarang, lapisan norma keempat yaitu lapis
dunia, dan lapisan norma kelima yaitu lapis metafisis.
DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press